Living with PCO Syndrome Part 1


Akhir-akhir ini gue sering banget mendengar tentang PCOS. Di Youtube, Instagram dan sampai kini portal kesehatan semuanya ramai membicarakan tentang gejala yang dikenal sebagai Polycystic Ovarian Syndrome. Kebetulan, gue diberi kesempatan untuk mempelajari apa gejala PCOS itu karena beberapa  tahun yg lalu gue, dokter mendiagnosos gue kena PCOS.

Terus apa sih PCOS itu? Apa sih yang buat sesorang kena PCOS? Let me share my experience here ya.

Gejala Awal
Sekitar pertengahan puasa tahun 2018 lalu, gue merasakan ada yang aneh dalam siklus menstruasi gue. Saat itu, gue telat hampir lebih dari 4 minggu. Awalnya gue sempet mikir gue tengah hamil. Tapi, setelah genap 4 minggu gue telat menstruasi dan gue testpack, ternyata hasilnya negatif.

Setelah mendapati hasil testpack yang ternyata negatif, akhirnya gue pergi ke dokter kandungan di rumah sakit daerah Tangerang. Singkat cerita, dokter kandungan gue bilang nggak ada apa-apa di rahim gue kecuali penebalan dinding rahim. Karena gue masih penasaran orangnya dengan hasil yang katanya “gapapa” gue minta dicek ulang usg oleh dokter tersebut.

Setelah diteliti ulang, si dokter menyampaikan kalo sel telur di rahim gue ukurannya kecil dan tidak memungkinkan untuk ovulasi. Ovulasi tersebut yang bisa memicu dua kemungkinan, yakni kehamilan atau menstruasi. Di sisi lain, si dokter pun tidak menemukan tanda-tanda adanya kantung janin di dalam rahim gue.

Nggak lama kemudian, si dokter ngangguk-angguk dan paham tentang kondisi rahim gue. Dokter sempet nanya ke gue – apakah gue mengalami kenaikan berat badan pasca menikah? Gue mengiyakan jawaban beliau dengan mengucapkan komparasi BB gue sebelum dan sesudah nikah.

Dokter makin mengamini kalau gue mengalami gejala-gejala suatu ketidakstabilan hormon dalam tubuh gue, termasuk rahim tentunya. Beliau bilang gejala tersebut dengan istilah PCOS. Beliau bilang akan sulit bagi gue untuk memiliki momongan bila gue tidak mengubah pola makan dan hidup gue – termasuk berat badan. Agak lemes sih saat itu, namun suami gue menyarankan untuk kalem dan coba ke dokter lain untuk cari second opinion.

Januari atau Februari awal 2019 kemarin, gue ke dokter kandungan yang berbeda. Kali ini, gue ke dokter yang sub spesialisnya fertilitas di sebuah rumah sakit swasta di Kebon Jeruk. Gejala yg kini gue rasakan adalah telat menstruasi hingga 8 minggu lamanya dan keputihan yang sangat banyak--tidak seperti biasanya. Bedanya, gue tidak melakukan test urine dengan testpack kehamilan seperti yg sebelumnya. 

Waktu itu, gue hampir yakin 80%an kalo gue hamil karena badan gue ngerasa gak enak banget dan layaknya orang hamil muda. Namun pas dicek, dokter tidak menemukan kantung kehamilan melainkan tipisnya pembuluh darah pada rahim (sebenernya lebih panjang lagi penjelasan medisnya, namun sori gue gak bisa jelasin karena takut salah), Singkat cerita, dokter menyimpulkan bahwa rahim gue adalah ciri rahim yg dimiliki oleh orang yg mager bgt dan males olahraga. Gue senyum sendiri. Karena emang iya hahaha

Suami gue sempet mengeluhkan tentang keputihan gue yg kadang suka banyak. Cuman, dokter bilang itu keputihan yg gue alamin saat itu gak masalah selama tidak berbau busuk dan berwarna kuning atau kehijauan. Sejauh ini, dokter hanya meminta gue untuk  melakukan olahraga selama150 menit per minggu selama 5 minggu lamanya, mengurangi junk food, buah mangga dan pisang. Oh iya, saat itu dokter menyarankan gue untuk melakukan olahraga minim cedera, seperti sepedahan pake sepeda statis dan jogging. I have done that activites for 2-3 months. 

Gambar: Resep Obat Manda (dari dr. DJW)
disclaimer: beda dokter beda ya penanganannya. Semua tergantung kondisi rahim masing-masing

Dokter gue waktu ngasih gue resep beberapa obat. Obatnya diminum hari kedua sampai dengan hari keenam setelah gue menstruasi. Akan tetapi, somehow, gue si otoy ini enggan minum semua obat yg udah diresepin dokter. Gue hanya melakukan saran-saran yg dokter berikan sampai 3 bulan lamanya. Selama itu, pola makan gue atur sehari makan 3 kali dan 2 kali makan snack. Berhubungan sama suami pun seperti biasa aja diatur tanggalnya setelah menstruasi. 

Selama 3 bulan itu gue cuma pasrah dan melakukan ikhtiar aja. Gak lupa gue atur stress management-nya dengan cara ambil cuti tahunan. Kalo gak salah waktu itu gue ke Malang selama seminggu. Gue inget kata dokternya, sebesar apapun ikhtiar kita untuk mengembalikan serta menyeimbangkan metabolisme dan hormon, kalo stres kita gak diatur-- sama aja bohong, Bunda. 

Many thanks untuk dokter DJW, caranya menjelaskannya yg begitu menenangkan dan thoughtful membuat gue semangat terus berjuang buat mendapatkan garis dua. Sampai akhirnya pertengahan Mei 2019 gue telat menstruasi. Ya, menjalani hidup sehat baru 3 bulan aja, siklus mens gue kembali teratur dan normal2 aja. Tapi saat Mei 2019 itu gue telat mens sekitar 2 hari. Singkat cerita, pulang dari Tebet hujan-hujanan beli testpack 3000an. Besok paginya gue test. Masya Allah, gue ngetiknya aja sambil merinding. 

---------------------------------------------------------------------------------------

So, here it was. My 16 weeks fetus with "a size of pea" inside my womb (on 4/6/2019). Yes, he is now my son called Aidan Prama Arrasyid

Sekarang anaknya sudah besar dan banyak kisahnya.Doakan Aidan sehat selalu ya. Aamiin. And, you know what? This post is dedicated to my 21 month-old-son as well as kalian para perempuan penyintas PCO Syndrome.
Bahwa harapan akan selalu ada. Kaya kita nunggu malam selesai aja. Ada yg ngerasanya lama nunggu matahari terbit, ada juga yg cepet banget. Semangat ya! 

P.s: Mendeteksi PCO Syndrome nggak harus untuk kalian yg udah nikah aja yah!

Komentar

Postingan Populer